Senin, 03 Agustus 2015

AMA IHA - HUBUNGAN GANDONG AMAIHA

Photo Created : Moh. Fahmin Kaisupy
Zaman dahulu sebelum kedatangan bangsa-bangsa eropa di Maluku (Al-Jazirah Al- Muluk).  Sesuai dengan namanya Semenanjung raja-raja, maka di Maluku terdapat beberapa kerajaaan, diantaranya Kerajaan Hitu di Huabon (Pulau Ambon = Aman abon=dibaca apon/Kota Ambon),  Alaka di Nusa Hatuhaha (Pulau Haruku), Kerajaan Iha di Nusa Iha (Pulau Saparua). Dan lain-lain.  Kerajaan-kerajaan ini merupakan kerajaan-kerajaan Islam yang hidup rukun dan damai.
Kerajaan Iha memiliki ibu kota kerajaan atau sering kita dengar dalam tuturan sejarah kerajaan-kerajaan disebut “Kota Raja” dalam bahasa Amaiha disebut “Amalatu” yang terletak di bagian utara Nusa Iha (pulau saparua) yang dikenal dengan sebutan jazirah Hatawano dengan taman sarinya bernama “Kupa Latu” Kota raja ini terletak di atas gunung Amaihal. Raja Kerajaan Iha disebut “Upu Latu” dengan gelar Latu Sapacua Latu Teuna Sitania. Kerajaan Amaiha pada Nusa Iha terdiri dari tiga Jazirah, yaitu bagian utara atau jazirah Hatawano terdiri dari tujuh soa yang dikenal dengan sebutan “Nurwaitu Amalatu” dibawah Koordinator Upu Ila Pattiiha, Jazirah Selatan yang dikenal dengan wilayah “Sama Suru” dibawah kekuasaan marga yang berteun (teuna) “Samaa” dengan gelar Upu Kamar” dan Jazirah Tenggara diberikan “Perintah” kepada salah satu saudara mereka yang datang dari tanah “Papua” untuk memerintah/berkuaasa di Jazirah Tenggara dan Nusa Hulawan dengan gelar “Pattisahusiwa”.

    PERANG IHA I (Portugis)

    Kedamaian Kerajaan Amaiha mulai terusik dengan datangnya bangsa-bangsa eropa. Dalam tahun 1570, penginjilan  telah mulai digiatkan di Saparua (nusa Iha) dibawah pimpinan padri Mascarenhas, Raja Iha dengan rakyatnya tidak rela dan mereka segera menyusun kekuatan melawan portugis. Dalam peperangan itu tampil seorang pejuang yang juga adalah seorang imam besar dari kerajaan Iha yang berjuang mempertahankan kerajaannya.beliau lebih terkenal dengan nama Kapitan Ulubalu (dibaca=Ulupalu).

    Pertempuran dimulai dari ujung  utara jazirah hatawano dengan tidak henti-hentinya. Banyak orang portugis yang  gugur demikian juga dipihak pasukan Iha. Karena banyaknya darah yang mengalir ditempat sungai yang ada disekitar situ warnanya menjadi merah sungai itu oleh rakyatnya disebut air potang-potang yang sebenarnya “air potong-potong” karena disitu banyak mayat portugis dibuang.

    Peperangan terhenti setelah kapitan Ulupalu gugur dalam suatu pertempuran  yang sangat dasyhat dan melelahkan ketika Sancho datang membantu pihak portugis dengan pasukan dan senjata yang lebih besar. Walau akhirnya portugis berhasil dengan penginjilannya di beberapa negeri, namun harus dibayar dengan harga mahal sekali karena orang-orang kerajaan Iha memperlihatkan kemampuannya sehingga pasukan portugis menderita kekalahan besar.

    Para rakyat kerajaan iha yang dipimpin oleh kapitan Ulupalu telah memperlihatkan sikap kepahlawanannya, tempat dimana beliau gugur dinamakan oleh Penduduk-penduduk disana dengan  istila “hatu imam” dan untuk mengenang jasa-jasa kepahlawanannya, ibukota kerajaan Iha (Kota Raja / Amalatu) dinamakan AMAIHA ULUPALU. Sampai tiba saatnya Portugis angkat kaki dari Maluku, Kerajaan Iha tak berhasil ditaklukan oleh Portugis.


    PERANG IHA II (Belanda)

    Rakyat Iha sebenarnya sudah sejak ke abad 17 telah memusuhi  Belanda, karena seperti daerah penghasil cengkeh lainnya, Kerajaan Iha pun tak luput dari incaran kompeni untuk diambil tindak kekerasan. Karena dianggap suka melawan dan sukar untuk untuk ditaklukan, Belanda sangat  tidak senang terhadap raja dan rakyat Iha. sulitnya menaklukan mereka karena setiap kali ada bahaya, seluruh rakyat iha segera menyingkir ke atas gunung amaihal yang merupakan sebuah gunung di jazirah Hatawano pulau saparua. Disitulah terdapat Ibukota kerajaan iha (Amalatu) yang bernama AMAIHA (Aman + Iha = Kota Iha).

    Menurut sejarah hancurnya pertahanan Iha adalah disebabkan karena penghianatan dari dua orang kaki tangan belanda, masing-masing dari Tuhaha dan Ullath bermarga Sasabone dan toupessi. Penghianatan ini telah diungkapkan oleh para leluhur dengan sebuah kapata dalam bahasa Iha yang masih dihayati sampai sekarang dan biasa dituturkan dalam upacara–upacara adat sebagai kenangan terhadap kejayaan Iha yang hancur karena penghianatan.
    Kapata itu berbunyi sebagai berikut :

    “Sasabone kutuke,Toupessi tobate, puna leka Amaihal”
    Artinya :

     “Terkutuklah Sasabone dan Toupessi ,karena merkalah yang menghancurkan Kerajaan Amaiha”
    Dari bunyi kapata diatas yang telah berusia lebih dari ­+360 tahun dapat diketahui bahwa orang Belanda telah memperalat Penduduk Tuhaha dan Ullath sehingga VOC berhasil mengalahkan kerajaan Iha. Menurut orang iha sumpahan itu jelas terlihat kepada kedua matarumah (marga itu).
    Pada Zaman kekuasaan Gubernur de Vlamigh, pada tahun 1652 rakyat iha terlihat lagi dalam peperangan menentang VOC. sebelum pertempuran dimulai, VOC telah mengirim utusan untuk minta kepada raja Iha  agar rakyatnya  turun berdiam di tepi pantai. Mereka yang diutus adalah dari marga  sasabone dan toupessi. raja Iha menolak usulan kompeni, namun kedua utusan itu memutarbalikan fakta dengan mengatakan bahwa raja Iha  bersama semua rakyatnya bersedia turun.

    Karena telah lama menunggu sedangkan belum ada tanda-tanda   bahwa mereka  akan turun, de Vlamingh mulai melancarkan serangan terhadap pertahanan iha. Pasukan Iha dengan semangat berapi-api menentang  serangan de Vlamingh dengan pasukannya yang dibantu negeri-negeri Kristen disekitar kerajaan Iha  yang berhasil diperalat. pertempuran berlangsung dengan sangit  serunya. Bertubi-tubi meriam belanda ditembakan namun tak berhasil mengalahkan benteng  Ama Iha.

    Dalam keadaan yang hampir putus asa pasukan VOC mendapat saran dari kedua penghianat (saudara sendiri mereka meninggalkan kerajaan Amaiha karena terjadi Perang Lawataka ke 2) tadi, supaya jangan menembak dengan peluru biasa, tetapi sebaiknya dimasukan tulang babi kedalam meriam untuk ditembakkan kearah benteng dan masjidnya. percaya atau tidak setelah meriam yang berisi tulang babi itu ditembakan dan jatuhnya tepat di halaman masjid Amaiha yang sangat indah itu, terjadilah sebuah keributan sehingga membuat panik  penghuni Amaihal.
    Karena melihat tulang babi yang jatuh berserakan rakyat Iha pun hilang semangatnya untuk mengadakan perlawanan  karena masjid telah berlumuran najis, sehingga sebelum salat subuh Kapitan sekaligus Pati Kerajaan Iha (Patiiha), yaitu Kapitan Pattihua yang sekaligus sebagai Guru Besar (penasehat Upu Latu dalam bidang pemerintahan,  keamanan dan bidang Agama) menujuh pantai dan menggaris sebidang tanah  dengan tongkatnya. Kemudian Kapitan tersebut melakukan Shalat Subuh dan memohon Kepada Sang Kalid untuk melindungi dan meridhai perjuangan mereka, maka (percaya atau tidak) sebidang tanah yang tadi digaris oleh kapitan tersebut terlepas dari pantai membentuk kora-kora (rakit) daerah ini sekarang berada di depan negeri Iha Mahu pada daerah tersebut terlihat agak dalam sedangkan daerah sekelilingnya agak dangkal (waullahu alam).  Kapitan menghadap upu Latu untuk segera meninggalkan kerajaan dengan menggunakan rakit tersebut.
    Dalam rombangan Upu Latu sebagian besar masyarakat yang bersamanya adalah berasal dari “Soa Iha” dan “Soa Mahu”.  Karena tergesa-gesa maka sebagian masyarakat kedua soa ini tidak sempat turut serta dengan rombangan Upu Latu.  Pada akhirnya masyarakat yang tidak hijrah dengan Upu Latu membentuk negeri yang diberi nama Iha Mahu yang berupakan gabungan dari Soa iha dan Soa Mahu, dan sekaligus untuk mengenang saudara-saudara mereka yang turut bersama Upu Latu adalah dari Soa iha dan Soa Mahu. (Bukan “Iha maane hahu” seperti apa yang dikemukakan para penulis sejarah selama ini, bagi kami kesimpulan ini terlalu prematur, apalagi alasan yang digunakan adalah pengaruh pengucapan sehingga maane hahu menjadi mahu kelihatan tidak pas dan mencari-cari alasan). Hal ini dapat dibuktikan dengan marga yang ada di Iha Mahu sama dengan yang ada di Iha-Ulupia (Pulau Seram). Disamping itu masyarakat Iha-Mahu (Saparua) menyebut Soa Mahu (sekarang Negeri  Mahu) dengan sebutan kampong artinya daerah itu merupakan kampong mereka dulu.  Serta ujung mesjid atau tiang alif mesjid Mahu dibawah oleh rombangan Upu  Latu yang sekarang merupakan tiap alif mesjid (musalah) Mahu di Iha-Ulupia.  Masyarakt Soa Mahu yang turut dalam rombongan Upu Latu adalah Marga Putuhena dan Pikahulan.

    Perjalanan Upu Latu dan rombongan menuju pesisir selatan daerah “Sama Suru” pada perbatasan antara wilayah Nurwahitu dan wilayah Sama Suru  sebagian mayarakat Soa Pia dan Soa Ulu (Kulur) telah menanti Upu Latu dan rombangannya untuk sama-sama Hijrah meninggalkan nusa Iha.  Raja dan rombangapun turun sejenak ke pantai bertemu dengan masyarakat kedua soa tersebut.  Upu Latu menayakan kepada Kepala Soa Pia tentang ujung mesjid Pia.  Kepala Soa mengatakan bahwa beliau tidak sempat membawanya.  Maka Upu Latu bertita kepada adik kandungnya untuk mengambil ujung mesjid pia, sang adik pun segera menujuh ke Soa Pia, tak lama kemudian Upu Latu memerintahkan rombongan untuk berangkat karena keberadaan mereka sudah diketahui oleh Belanda dan pasukannya. Sepeninggalan mereka sang adik pun datang tapi tidak dijumpai rombongan upu latu lagi, sang adik pun sedih dan akhirnya sang adik berjalan menujuh tanjung kulur dan menyemberang ke Pulau Haruku dan menetap di sana beserta ujung mesjid Pia.  Anak turunannya sekarang adalah marga Sitania di Haruku.  Musallah Pia di Amaiha-Ulupia tidak memiliki ujung.  Perjalanan rombongan Upu Latu dan Upu Khamar ini mereka singga dari satu tempat ke tempat lainnya dan akhirnya mereka menetap di daerah sekarang yaitu jazirah Huamual yang daerahnya dari laut terlihat persis sama dengan jazirah Hatawano, dan dari Gunung atau cuaca cerah terlihat Gunung Amaihal tempat bertahtanya Upu Latu Sapacua Latu tampak terlihat.  Masyarakat Soa Iha dan Soa Mahu bergabung dalam Negeri Iha dan masyarakat Soa Ulu dan Soa Pia bergabung dalam Negeri Kulur/Ulupia.

    Pada Tahun 1974 lebih dari 3 (tiga) abad baru hubungan gandong ini dibangkitkan kembali bertepat dengan pelantikan Upu Latu Iha dan Upu Khamar Ulupia (Kulur) Seram Barat. 


KESIMPULAN

Dari Kisah di atas dapat disimpulkan bawa perpisahan keluarga sekandung yang terjadi disebabkan oleh perang melawan belanda.
Gandong atau saudara sekandung antara Iha-Ulupia (Kab. Seram Bagian Barat), Iha-Mahu dan Kulur/Ulu (Kab. Maluku Tengah) bukanlah Gandong karena berasal dari satu kerajaan atau negeri saja, bukan pula karena hubungan antara raja atau marga tertentu saja, tepi lebih dari itu Gandong atau saudara sekandung yang betul-betul terjadi putus tali gandong dari rahim ibu artinya semua masyarakat Iha-Ulupia, Iha-Mahu dan Ulu (kulur) memiliki saudara sekandung atau terjadi perpisahan dari masing-masing mata rumah dan mereka masing-masing berada pada empat negeri tersebut.


    catatan:
    Iha-Ulupia merupakan dua negeri satu komando artinya Upu Latu (Raja Negeri Iha) memberi tita masyarakat Iha dan Kulur (Ulupia) tunduk dan patuh atas tita tersebut, bitu juga halnya dengan Tita Upu Khamar (Raja Negeri Kulur/Ulupia).

NB : Mohon di Pelajari dan kita diskusikan kefalidan Sejarah kita .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar